Thursday, November 20, 2008

Filling The Jar

The young man was feeling anxious and troubled about his life and his future, and so one day he decided to take a walk along the beach to try to resolve some of his problem. It was very early in the morning, and the beach was, thankfully, deserted – or so he thought. For as he turned a corner he could see in the distance a strange old man sitting on a rock by the edge of the sea. He had a long, sad face with a white beard and was wearing silver robe with a strange pattern on it that the young man had never seen before.

As the young man walked closer, he noticed that the old man was very slowly and meticulously picking up the stone and pebbles from the shore. Curious, he walked up to the rock where he was sitting, and, as he did so, the old man raised his head to look at him.

‘Why are you so troubled?’ said the old man. ‘What is the question that you are trying to answer?’

The young man, somewhat taken aback by this pertinent inquiry, replied, almost without thinking, ‘I can’t seem to work out what’s most important to my life. There’s so much to do – how do I know what to do first?’

‘That’s an easy question to answer,’ said the old man and, picking up a crude glass jar that has been washed up by the sea, he started to fill it with the rocks, each of them about the size of his fist. When he had filled the jar to the top with rocks, he turned to the young man.

‘Is the jar full?’

The young man agreed that it was.

The old man nodded wordlessly, and then picked up a handful of small pebbles and poured them into the jar. He shook the jar lightly and the pebbles effortlessly rolled into the areas between the rocks. He turned again to the young man and this time he smiled.

Now is the jar full?’

The young man smiled back and agreed once more that it was.

Again, without words, the old man reached down and picking up a handful of fine sand poured into jar. The sand trickled through all the nooks and crevices left by the pebbles and the rocks. This time there were no spaces left and the jar was completely full.

‘Now,’ said the old man, ‘this is the answer of your question. The rocks represent the most important things in a person’s life – whether that be family, partner or children, health, spiritually or wisdom - so that, if you lost everything else and only this were left, your life would still feel full.’

He went on, ‘The pebbles represent the other things that matter to you –maybe material things like money, house, clothing or job. The sand’, he said, running some of it through his fingers, ‘is everything else, the small stuff, the stuff that doesn’t really matter.’

As the young man continued to listen, he said, ‘Some people make the mistake of putting the sand into the jar first and, if they do –why, of course there is no more room left for the pebbles and certainly not the rocks. The same goes for your life. If you spend all your time and energy on the little inconsequential things, you will never have room for the things that are really important to you, things that are critical to your happiness. Take care of the rocks first –the things that rally matter. Set your priorities. The rest is just sand.’

(Taken from Tales for Change by Margareth Parkin)

The Old Bear and the Young Bear

Once up on a time, in a forest on a hill lived an old bear and a young bear. The young bear loved to play in the forest, to chase the squirrels and to bask in the sun. The old bear, on the other hand, like nothing better than to spend most of his time sleeping in his favourite cave. One day, the young bear, lonely and looking for a playmate, ran into the cave and tried to persuade the old bear to wake up.

‘Wake up, wake up, old bear’, he said. ‘Please come and play with me in the forest. Come and chase the squirrels, and bask in the sun’.

‘Go away, little bear, and let me sleep,’ the old bear said. ‘It is not yet time to get wake up.’

‘But when will you get up?’ asked the young bear, tugging at the other’s furry back.

‘Only when the spring has arrived,’ said the old bear.

‘But how will you know when spring has arrived?’ asked his young companion.

‘When the sun is high in the sky, and I can feel the gentle warm breeze on my fur,’ replied the old bear. ‘Then I’ll know that the spring is truly here.’

The young bear, desperate to playmate, painted a huge sun on the roof of the cave where the old bear was sleeping and, using branches from their fir trees, wafted air in through the mouth of the cave.

‘Wake up, wake up, old bear!’ he said. ‘See, the sun is shining and the breeze is blowing. The spring is here.’

But the old bear remained just where he was

‘Go away, little bear, and let me sleep. I know that you are trying to trick me. It’s not yet time to get up.’

‘But when will you get up?’ ask the young bear anxiously.

‘Only when I know that spring has arrived,’ said the old bear.

‘But how will you know when spring has arrived?’ ask his young companion.

‘When the birds are singing their special song,’ said the old bear. ‘Then I know that spring is truly here.’

The young bear ran into the forest and, as quickly as he could, laid a trail of breadcrumbs to the entrance of the cave that the birds could follow. And sure enough, before too long, a huge flock of birds were flapping and fluttering outside the cave, pecking at the food and singing loudly.

‘Wake up, wake up old bear!’ said the young bear. ‘Listen – the birds are singing for you. The spring is here.’

But the old bear remained just where he was.

‘Go away, little bear, and let me sleep. I know that you are trying to trick me. It’s not yet time to get up.’

‘But when will you get up?’ ask the young bear, growing impatience.

‘Only when I’m convinced that spring has truly arrived,’ said the old bear.

The young bear left the cave and started to walk dejectedly towards the forest, but no sooner had he got outside then suddenly he heard in the distance the sound of men shouting, dogs barking and guns firing. He ran back to the cave in alarm.

‘Please, please wake up, old bear!’ he cried. ‘Listen – the hunters are coming for us. We must leave our cave before they find us!’

With one great movement, the old bear raised himself up.

‘Very well, little bear,’ he said. ‘I know that this is not a trick. Now i know that the spring is truly here.’


(Ditulis oleh Margareth Parkin selepas mengisi sebuah pelatihan dan konsultasi di sebuah organisasi di Hague, Netherland. Diterbitkan dalam buku Tales for Change)

Tuesday, February 19, 2008

Anansi menipu sang ular

Pernah dengar cerita tentang anansi? Belum? Atau jangan-jangan, kamu nggak pernah tau anansi itu apa. Baiklah, nggak apa-apa. Anansi adalah sejenis arthopoda (laba-laba) yang hidup di hutan rimba seperti di Afrika, Hindia Barat dan Brazil. Ia sesungguhnya terkenal sebagai binatang yang cerdik dan lihai menipu, sekelas dengan Kancil atau Abunawas dalam dunia perdongengan. Anansi mungkin memang kurang populer. Tapi cerita ini justru ada karena ketidakpopulerannya itu. Hmm.. mau tau kisahnya ? Begini ceritanya :

Pada zaman dahulu kala, sebagaimana diketahui dan disepakati oleh semua kalangan hewan bahwa Harimau Sang Raja Rimba, merupakan makhluk yang paling kuat dan berkuasa di antara mereka, sedangkan Anansi si laba-laba merupakan yang paling lemah dan tak berdaya. Suatu ketika, kedua hewan ini bertemu, dan Anansi seraya membungkuk menyapa sang raja berkata, “Aku mempunyai satu perkara yang ingin kutanyakan padamu, Baginda”

“Perkara?” balas sang raja dengan suara yang heran. “Apakah itu, laba-laba kecil?”
“Begini baginda, semua orang tau bahwa kau adalah yang terkuat dibandingkan semua hewan di rimba raya ini. Dan semua orang tau namamu. Tetapi tidak ada yang mengenalku, tidak ada orang yang membincangkan tentang Anansi”
“Hmm..baiklah” kata sang raja. “Lalu apa yang akan kau lakukan untuk mengangkat namamu, Anansi?”
“Aku ingin mempunyai sebuah kisah!” jawab anansi seraya mengangguk antusias.”Kisah seperti Si kancil, Si Rubah, Si Gajah dan hewan lainnya. Aku ingin sekali punya kisah seperti itu dan terkenal sebagai Dongeng Anansi”
“Hmm..Bagus sekali.” Jawab sang raja. Lalu ia berfikir sejenak dan mencari tugas yang cukup berat yang dapat terfikir olehnya, kemudian ia berkata kepada Anansi, “Kau tau ular besar yang hidup di dasar sungai itu? Nah, aku ingin kau membawakan aku Sang Ular sebagai tawanan. Tetapi kau harus memastikan bahwa ia tetap hidup, setuju?”

Anansi pada awalnya sedikit khawatir, tetapi ia teramat sangat menginginkan sebuah kisah atas dirinya, dan akhirnya ia menyetujui tantangan itu. Setelah meninggalkan sang raja, ia duduk dan berfikir, dan berfikir, dan berfikir. Dan akhirnya ia menyusun sebuah rencana.

Hari pertama, ia membuat jebakan untuk si ular. Ia meletakkan tanaman rambat kemudian membuat simpul di ujungnya. Kemudian diletakkannya jerat itu diantara semak-semak, dan meletakkan beberapa biji beri kesukaan ular didekatnya. Kemudian ia pergi dan bersembunyi. Tak lama kemudian, melihat ada biji beri disana, si ularpun datang dan tentu saja ia terkena jerat yang telah dibuat Anansi. Sadar bahwa ular terkena jebakannya, Anansi lalu menarik ujung jerat itu sekuat tenaga, namun sayangnya, si ular terlalu besar dan kuat baginya. Akhirnya si ular berhasil melepaskan diri dan kembali merayap pergi.

Tanpa kecil hati, hari kedua, Anansi menggali lubang yang besar dan dalam lalu meletakkan jerami dan ranting-ranting disekitarnya. Di dasar lubang, diletakkannya pisang . Lalu ia bersembunyi di tepi jalan sambil mengintai dari jauh. Sudah tentu, si ular tergiur melihat tumpukan pisang di dasar lubang, namun ia juga memikirkan keselamatannya. Akhirnya ia mengaitkan ekornya pada sebuah dahan dan meluncur ke dasar lubang untuk mengambil pisang itu. Lalu dengan mudahnya ia mengangkat kembali tubuhnya dan melangkah pergi dari sana. Anansi hanya menatap dengan kecewa...

Anansi mulai berfikir bahwa tantangan ini terlalu berat baginya. Tetapi kemudian, suatu hari, ia berjumpa dengan ular yang tengah berjalan-jalan di hutan.

“Anansi”, kata si ular, “aku tau kau mencoba untuk menangkapku beberapa hari ini. Tapi kau selalu gagal. Kau tau apa yang mampu membuatku tidak memakanmu saat ini juga?”

“Baiklah, kau telah menangkap basah perbuatanku”, Anansi mengaku. “Engkau terlalu cerdik bagiku.” Lalu ia menambahkan dengan liciknya, “Ya, aku memang mencoba untuk menangkapmu..tetapi hanya untuk memastikan bahwa kau adalah MAKHLUK TERPANJANG DI DUNIA.. Lebih panjang dari ekor harimau, lebih panjang dari belalai gajah, dan sudah tentu, lebih panjang dari batang bambu disana itu.”

Si ular lalu menoleh ke arah yang ditunjuk Anansi, lalu kembali menatapnya dengan hina “sudah tentu aku lebih panjang dari batang bambu itu!” ujarnya sombong. “Mengapa, karena akulah makhluk terpanjang di dunia ini!”

“Itulah yang coba aku katakan pada yang lain” tipu Anansi.”Lagipula, aku harus mengakui bahwa batang bambu itu cukup panjang. Tapi, --tentu saja, sulit untuk menunjukkannya dari sana”

“Baiklah, cepat bawa bambu itu kesini!” tantang ular. “Potong dan baringkan di sisiku. Lalu kau dapat meyakinkan dirimu bahwa aku lebih panjang” Anansi kemudian melakukan apa yang diperintahkan ular.

“Mmm..maaf” kata Anansi, “aku ini kecil dan bodoh. Bagaimana aku bisa tau ketika aku sedang berlari ke ujung yang di atas kau tidak akan merayap juga ke sana, lalu ketika aku berlari ke ujung yang di bawah, ekormu tidak akan merayap ke bawah lagi?
“Baiklah, ikat ekorku pada ujung yang satu kalau kau tidak percaya” kata ular penuh yakin. “Kau akan tahu bahwa aku tidak curang”

Anansi melakukan apa yang disuruh ular. Ia ikat ujung ekor ular pada satu ujung bambu, dan kemudian berlari ke ujung yang satu.
“Ulurkan badanmu, ular!” teriaknya. “Ulurkan sejauh yang kau bisa, dan kita akan lihat mana yang lebih panjang”
Ular terus menjulurkan badannya dan Anansi mengikatnya di bagian tengah.

“Aku rasa ini masih belum cukup” kata Anansi lagi. “Istirahatlah dulu, lalu ulurkan lagi badanmu. Kerahkan semua tenagamu. Tutup matamu dan konsentrasi!”
Ular yang sombong dan bodoh itu lalu mengikuti kata-kata Anansi. Dan ketika ia memejamkan mata sambil mengulurkan badannya, dengan cepat dan sigap Anansi mengikat kepalanya pada batang bambu! Akhirnya ular terperangkap tidak dapat bergerak! Setelah diikatnya dengan kencang, Anansi kemudian berlari meniggalkan ular dan memanggil Harimau si Raja Rimba untuk membuktikan bahwa ia mampu menyelesaikan tantangan itu.

Dan sejak saat itu, Anansi telah berhasil membuat kisah tentang dirinya. Dan Sang Harimau setuju bahwa kisah itu selanjutnya akan disebut sebegai Dongeng Anansi.



(taken from Old Tales for A New Day by Sophia Lyon Fahs and Alice Cobb)

Monday, February 11, 2008

Bukan, ini bukan dongeng...

Ini cerita saya hari ini. Tapi masih ada hubungannya sama dongeng mendongeng kok.

Hari ini di kampus saya ada bazaar buku. Awalnya sih gak niat mau beli, tapi cuma mau liat-liat aja. Lalu saya sampai di sebuah stan yang jual buku-buku bekas dengan diskon 70%. Dan saya melihat ada buku kumpulan dongeng disana....Oooh, senangnya!

Buku luar sih. Tapi dongengnya sebagian besar belum pernah saya baca. Trus tanya-tanya harganya di kasir. Dari awalnya 26 ringgit (IDR = 85.000 an) setelah diskon jadi 7 ringgit sekian (IDR= 20.000 an) hohoho... saya semakin senang! Dibeli deh! kan untuk nambah kumpulan dongeng disini.

Uuh, saya sampe gak mau dikasih plastik kresek sama kasirnya. Gak papa, ditenteng aja. hehehe...pengen dipegangin terus. Gak sabar pengen baca. Ntar dongengnya saya masukin sini deh. Jadi semua orang boleh ikut menikmati. Yah..yah..

Tuesday, February 5, 2008

Sang Astronom yang Kreatif

Setiap malam, seorang astronom akan pergi ke suatu tempat terbuka dan mengamati bintang-bintang dan benda-benda langit lainnya di angkasa sana. Kadangkala ia akan duduk pada puncak sebuah bukit di dekat rumahnya untuk membentangkan teleskopnya dan mengamati beberapa bintang. Atau pada kesempatan lain, ia hanya akan terpukau di tepi jalanan dan menghayalkan keindahan alam semesta.

Pada suatu ketika, ketika ia berjalan-jalan di kota dengan fikiran yang masih berputar pada angkasa luar, ia terjerembap ke dalam lubang yang besar dan dalam. Dan iapun terjebak di dalamnya, tak dapat keluar. Ia berusaha untuk mengeluarkan dirinya, tapi tak juga berhasil. Ia kemudian hanya bisa berteriak dan menangis putus asa. Jeritannya itu lalu terdengar oleh tetangganya. Kemudian ia berhasil ditolong untuk keluar dari lubang itu. Setelah mengeluarkannya dengan selamat, sang tetangga berkata, "Engkau teramat sangat ingin tahu ada apa di balik alam semesta ini. Tetapi bagaimana engkau bisa mangabaikan tentang apa yang ada di atas bumi?"

Sumber : Fabel tua dari Aesop, diterjemahkan dari versi Inggrisnya oleh saya sendiri

Biji Sawi

Pada suatu ketika, di sebuah negeri nun jauh disana, hiduplah seorang perempuan bernama Kisagatomi. ia hanya mempunyai seorang anak laki-laki yang sangat dicintainya. Tetapi kemudian sang anak jatuh sakit. Meskipun Kisagatomi sudah melakukan segala usaha, sayangnya sang anak meniggal dunia. Kisagatomi sangat terpukul akan kematian anaknya dan masih belum dapat menerima kenyataan bahwa anaknya telah meninggal dunia. Kemudian ia pergi ke beberapa orang temannya dan berkata, "Tolonglah, selamatkan anakku.." tetapi semuanya hanya memberikan jawaban yang sama: "Anakmu telah pergi, Kisagatomi. Sekarang ini tidak ada lagi hal yang dapat menolongnya".

Kisagatomi tetap berkeras, ia kemudian membawa sang anak dalam pelukannya dan pergi menghadap Sang Budha seraya memohon, "Tolong selamatkan anakku. Tolong berikan aku obat apapun yang mampu menyembuhkannya.."

Sang Budha dengan kebijaksanaannya kemudian berkata pada Kisagatomi bahwa Ia akan memberikan obat untuk anaknya itu. Tetapi itu membutuhkan bahan khusus dan istimewa, yaitu biji sawi.

"Tetapi", lanjut Sang Budha, "kau harus mendapatkan biji sawi itu dari sebuah rumah yang di dalamnya belum pernah ada siapapun yang meninggal dunia -baik orang tua,maupun anak-anak."

Kisagatomi kemudian menyanggupi, dan ia pergi berkeliling kampung untuk mendapatkan bahan istimewa itu. Dan setiap orang yang dijumpainya menyambutnya dengan senang hati dan mau membantu kesulitannya itu. Tetapi ketika ia menanyakan adakah sesiapa dari penghuni rumah itu yang telah meninggal dunia, semuanya menjawab iya. Rumah yang pertama didatangi mengatakan suaminya telah meninggal. Rumah yang kedua, anak perempuannya. Yang ketiga, sang nenek pula. Tidak ada satupun rumah yang memenuhi persyaratan itu.

Dengan perasaan sedih, Kisagatomi kembali menemui Sang Budha dan dengan letih berbaring di samping jasad sang anak. Kemudian ia berkata, "aku mengerti sekarang, apa yang Kau dan orang lain coba katakan kepadaku.."

Sang Budha dengan kebijaksanannya kemudian berkata kepada Kisagatomi, "Kau pikir bahwa kau sendirian dalam penderitaanmu. Tapi itu adalah sifat kehidupan dimana tidak seorangpun mampu lepas dari kepedihan yang sesungguhnya hanya sementara"

Induk Ayam dan Musang

Pada jaman dahulu kala, di sebuah kerajaan, tersebutlah sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang adil dan bijaksana. Selain bijak sana, raja tersebut juga penyayang binatang. Raja tersebut memiliki banyak peliharaan. Diantara banyaknya peliharaan raja ini, ada satu yang paling disayanginya, yaitu seekor induk ayam dan 9 anaknya.

Induk ayam dan 9 anaknya ini sangat disayangi raja. Mereka diberi makan teratur oleh pihak istana sehari tiga kali. Setiap pagi, siang dan malam, mereka diberikan makanan yang lezat-lezat. Setelah makan pagi, mereka diperbolehkan bermain di sekitar wilayah kerajaan. Dan mereka bermain dengan sangat gembira..

Hari ini, matahari bersinar terang. setelah makan pagi induk ayam kembali mengajak kesembilan anaknya bermain. Kali ini mereka mendapat ijin dari raja untuk bermain di luar istana. Betapa senang hati mereka, dan merekapun segera berangkat untuk bermain.

Tanpa terasa, hari sudah semakin siang. Tanpa terasa mereka sudah semakin jauh dari istana. Langit pun mulai mendung, angin bertiup kencang dan udara terasa dingin.pertanda hari akan hujan. Anak-anak ayam mulai diliputi ketakutan.

“Aduh ibu, bagaimana ini?”
“Tenang nak, tidak usah takut. Hujan adalah rahmat dari Yang Mahakuasa. Bukan untuk ditakuti. Nampaknya malam ini kita harus bermalam di hutan. Kalian tunggu disini sebentar. Ibu akan melihat apakah ada dangau di sekitar sini untuk bermalam.”

Maka, naiklah si induk ayam ke sebuah dahan yang agak tinggi. Dilihatnya sekeliling untuk mencari apakan ada dangau yang dapat menjadi tempat untuk tidur malam ini. Di kejauhan dilihatnya sinar lampu damar yang keluar dari jendela sebuah dangau.

“Ada! Disana anak-anak! Ayo kita kesana!”

Berjalanlah mereka menuju dangau yang dimaksud. Sementara langit semakin gelap, hujan akan segera turun. Induk ayam memerintahkan anak-anaknya untuk berjalan lebih cepat.

Di sebuah kelokan, induk ayam melihat sebuah gerakan yang mencurigakan. Dilihatnya ke belakang sejenak. Ternyata mereka diikuti oleh seekor musang. Di suruhnya anak-anaknya bergegas.

Ketika mereka sampai di dangau, hujan pun turun. Di pojok dangau, terlihat sebuah peti yang tergeletak di atas kuda-kuda dapur yang dinaungi dahan kayu menteru yang berdaun rimbun. Segera induk ayam menyuruh anak-anaknya naik ke atas peti.

Setelah malam, hujanpun berhenti, Induk ayam tetap terjaga, sementara ke sembilan anak-anaknya sudah tertidur. Induk ayam menduga, saat hujan berhenti musang tersebut akan langsung menerkam mereka.
“Wah, berbahaya ini, akan kupancing musang itu untuk mengetahui di mana dia berada.”

Maka, berteriaklah induk ayam.
“Sabai, sabai musang. Kemarilah. Kita berbagi tempat tidur. Di sini kering dan masih cukup tempat untuk kita bersama-sama.”
Namun, tidak ada jawaban. Maka si induk ayam memancing sekali lagi,
“Jangan tidur di bawah pohon sabai. Nanti engkau sakit!”

Pancingan induk ayam berhasil. Si musangpun menjawab, “Tidak sabai, tidak basah. Saya ada di balik para-para dapur. Di sini kering dan cukup hangat. Biar saya disini saja.”

Induk ayam dapat menduga niat jahat musang. Dia tetap terjaga. Ketika malam semakin larut. Apa yang dicurigai oleh induk ayam segera nampak. Ia mendengar suara kaki musang bergeser.

“sabai, sabai musang belum tidur?”
Musang terkejut, “hah, belum tidur dia, pikirnya.
"Belum Sabai" jawabnya. "Sabai sendiri kenapa belum tidur”
Induk ayam segera membangunkan anak-anaknya secara diam-diam, karena ia yakin musang tersebut akan segera melaksanakan niatnya.“belum sabai, perut saya sakit, mungkin karena makan siang terlalu banyak tadi. Kalau anak –anak saya, sejak tadi mereka sudah terlelap”

Induk ayam memerintahkan anak-anaknya untuk berdiri sesuai usianya dan diatur melompat dari peti satu persatu sesuai perintahnya.

“Suara apa itu sabai?” ujar musang.
“Oh, itu suara daun menteru yang jatuh tadi.” Satu persatu anaknya meompat.
“Itu, suara apa lagi yang sabai”.
“sama, suara daun”
“Daun yang jatuhnya banyak juga ya?”

Hingga kini tinggalah si sinduk ayam sendirian.Segera diambilnya asahan yang terletak di bawah peti, dan di selimutinya. Kemudian ia pun melompat dan menyusul anak-anaknya meninggalkan dangau tsb. Musang yang tidak mendengar suara apa-apa, segera mengira induk ayam tsb sudah tidur.

“Sabai…sabai…. Sudah tidur ya?” Saya juga ngantuk sabai!”. Katanya seraya berjinjit mendekati induk ayam tersebut. “wah, itu dia sudah tidur. Diselimuti jerami dan tidak bergerak lagi. Makan enak saya malam ini” Gumanya kepada diri sendiri. Tak lama kemudian, ia mengambil ancang-ancang untuk menerkam induk ayam tsb.dan langsung m,elompat ke arah sasaran. Namun alangkah kagetnya dia karena giginya langsung sakit karena terkaman dan pangutannya menyentuh benda keras. “Aduh, sakit! Aduuuh...gigiku tanggal pula!.” Sambil melompat pergi ia meraung-raung kesakitan.
---

Keesokan harinya, sampialah induk ayam dan kesembilan anaknya di kerajaan. Kepada raja diceritakanlah oleh induk ayam tentang kejadian tersebut. Betapa marahnya raja, segera diperintahkannya agar semua musang di seluruh kampong dikumpulkan di balairung.

“wahai, musang-musang. Hari ini, saya akan mengajak kalian bergembira. Saya sudah menyediakan hidangan yang lezat dan minuman yang enak untuk kalian santap. Ayo kita makan.”

Dan semua musang pun makan, namun alangkah kagetnya raja karena ada satu musang yang tidak makan.”kenapa kau tidak makan musang?”Musang tersebut diam. “Kenapa kau diam saja? Jawablah! Kenapa kau tidak makan?”
Baru si musang hendak menjawab, raja melihat keempat gigi depannya yang tanggal.
Maka, segeralah raja tahu bahwa itulah musang yang mengganggu induk ayamnya. Lalu Raja memerintahkan perajurit untuk menangkap sang musang dan memberikan hukuman.

Sumber: Legenda Asli Rakyat Lampung